KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الرحيم
Segala puji bagi Allah
swt, karena berkat rahmat dan izinnya saya mampu menyelesaikan makalah ini,
saya berharap makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi kita semua. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan
kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW., yang telah membawa
umatnya dari alam yang buta dengan ilmu pengetahuan menuju alam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan.
Tak terasa hasil
kerja keras yang telah menghabiskan banyak waktu ini akhirnya bisa
terselesaikan, berkat niat dan ketulusan yang tinggi saya dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sukses walaupun masih terdapat kesalahan dalam pembuatannya.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu,
kami membutuhkan kritik dan saran yang dapat memotivasi untuk bisa lebih baik
demi kesempurnaan makalah ini.
Mataram , 25 Desember 2012
Penyusun
LATAR BELAKANG
Seorang
ulama yang bernama IBNU TAIMIYAH, sepanjang sejarah bahwa asal perkataan
Taimiyah adalah dari neneknya yang bernama Muhammad bin Al Khadhar. Beliau
ketika pergi naik haji ke Mekkah melalui jalan Taima’. Setelah ia kembali dari
haji ia dapati isterinya malahirkan seorang anak wanita, yang diberi nama
Taimiyah dan keturunannya dinamai keturunan Ibnu Taimiyah, sebagai peringatan
bagi jalan yang dilalui oleh neneknya pada ketika mengerjakan haji itu. Ahmad
Taqiyuddin yang kita perkatakan sekarang ini lahir di desa Heran, sebuah desa
kecil di Palestina pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661.
Ibnu
Taimiyah dalam sejarahnya kemudian menjadi orang yang alim besar, banyak
pengetahuannya dalam fiqih Mazhab Hanbali dan juga dalam ilmu Usuluddin. Beliau
biasa mengajar dan bertabligh diMesjid Bani Umayyah di Damsyik dan mempunyai
banyak murid. Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa beliau terpengaruh dengan
faham-faham kaum Musyabbihah dan Mujassimah, yang menyerupakan Tuhan dengan
makhluk dan juga banyak mengeluarkan fatwa-fatwa dalam fiqih yang berbeda jauh
dengan fatwa-fatwa dalam Mazhab Hanbali sendiri dan juga Mazhab-mazhab Hanafi,
Maliki dan Syafi’i.
Bagi
Ibnu Taimiyah Tuhan mempunyai muka, tangan, mata, rusuk, duduk bersela, datang
dan pergi dan cahaya langit dan bumi, karena hal itu semuanya tersebut dalam Al
Qur’an, katanya. Tuhan berada dilangit, boleh ditunjuk dengan anak jari ke
atas, Tuhan mempunyai anak jari, mempunyai tumit kaki, mempunyai tangan kanan,
mempunyai nafas, turun-naik, dan Tuhan itu “masa”, karena semuanya itu tersebut
dalam Hadits yang sahih-sahih, kata Ibnu Taimiyah.
Jadi
beliau sebenarnya harus dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah dan Musyabbihah,
karena ada persamaannya dalam I’itiqad.
Judul
makalah ini sengaja dipilih karena menarik perhatian saya untuk menyampaikan
bahwa masih banyak faham-faham pada zaman Rasululla Saw, seperti Faham
Ahlussunnah Wal Jama’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah,
Najariyah, Musyabbihah, Ibnu Taimiyah, Wahabi, Bahaiyah dan Ahmadiyah, tetapi
pada pembahasan ini akan dibahas lebih detail mengenai Faham Ibnu Taimiyah.
FATWA-FATWA
IBNU TAIMIYAH YANG BERTENTANGAN DENGAN FATWA KAUM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
A.
Tuhan Duduk di
Atas ‘Arsy Serupa Duduknya
Ibnu Taimiyah memfatwakan bahwa tuhan duduk bersela diatas ‘Arsy,
serupa dengan duduk berselanya Ibnu Taimiyah sendiri. Faham ini beberapa kali
diulangnya di atas mimbar Masjid Bani Ummayah di Damsyik Syria dan di Mesir.
Misalnya firman Tuhan :
Yang artinya : (menurut Ibnu Taimiyah) “Ar Rahman duduk
bersela di atas ‘Arsy” (Tha-ha : 5).
Fatwa dan I’itiqad Ibnu Taimiyah semacam itu ditolak oleh kaum
Ahlussunnah Wal Jam’ah, bukan saja ditolak dengan lisan dan tulisan tetapi juga
sampai dibawa ke muka pengadilan dan akhirnya dihukum sampai mati dalam
penjara.
Kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, baik kaum Salaf atau Khalaf, tidak
mengartikan perkataan “istawa” dalam ayat-ayat itu dengan “duduk bersela serupa
duduknya manusia”.
Ada dua aliran dalam kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam mengartikan
( menafsirkan) ayat-ayat istawa itu yaitu:
1.
Aliran Salaf, atau ulama-ulama Islam yang hidup dalam 300 tahun
sesudah tahun Hijriah.
2.
Aliran Khalaf, yaitu ulama Islam yang hidup di muka 300 tahun
sesudah Hijrah sampai sekarang.
Kedua aliran
itu menentang cara-cara Ibnu Taimiyah yang menyerupakan duduknya Tuhan dengan
duduknya sendiri. Karena itu Ibnu
Taimiyah bukan pengikut ulama-ulama Salaf dan juga bukan pengikut ulama-ulama
Khalaf, ini harus dicamkan benar-benar, karena di Indonesia terdengar
desas-desus, bahwa Ibnu Taimiyah itu penganut faham Salaf.
Ulama-ulama
salaf mengakui, memang arti istawa dalam bahasa arab adalah duduk, dan
perkataan “tangan” memang tangan, tetapi duduknya Tuhan dan tangannya Tuhan
tidak serupa dengan duduk dan tangan makhluk Nya. Jadi perkataan “istawa” dan
“yadun” tidak dipakai menurut artinya yang asli. Ulama-ulama Khalaf juga
begitu, mereka mengakui bahwa arti “istawa” dalam bahasa arab memang duduk dan
arti “yadun” memang tangan, tetapi dalam ayat ini arti istawa adalah
“menguasai” dan arti “yadun” ialah
“kekuasaan”. Jadi tidak dipakai menurut artinya yang asli lagi.
Pendeknya dapat
diambil kesimpulan, bahwa faham yang mengatakan Tuhan duduk bersela di atas
‘arsy serupa duduknya Ibnu Taimiyah itu atau serupa duduknya siapa jugapun,
adalah faham yang sesat lagi menyesatkan, karena bertentangan dengan sifat
Tuhan : Makhalafatuhu ta’ala li hawaditsi (berlainan dari sekalian makhluk).
B.
Tuhan Turun
Dari Langit Tiap-Tiap Malam Serupa Turunnya Ibnu Taimiyah Dari Mimbar
Ibnu Taimiyah
memfatwakan bahwa Tuhan tiap-tiap malam turun ke langit dunia seperti turunnya
ia kebawah dari mimbarnya.
Memang dalam
sebuah hadits Nabi Muhammad saw. Yang artinya :
“Dari Abu
Hurairah Ra., beliau berkata : Bahwasanya Rasulullah Saw. Berkata: “Tuhan Allah
turun tiap-tiap malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga malam
penghabisan, maka Ia berkata : siapa-siapa yang akan mendo’a kepada saya akan saya perkenankan, siapa yang meminta
akan saya beri, siapa yang minta ampun kepada saya akan saya ampuni” (Hadits
Sahih diriwayatkan Imam Baihaqi). Hadits ini dirawikan juga oleh Imam Bukhari,
(sahih Bukhari IV, halaman 72).
Menurut
I’itiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah Tuhan Allah tidak turun sebagai dikatakan
Ibnu Taimiyah, apalagi sebagai turunnya Ibnu Taimiyah melangkah dari atas
mimbarnya ke bawah.
Maksud hadits
ini menurut Ahlussunnah bahwasanya pintu rahmat Tuhan terbuka malam hari
seluas-luasnya, khusus pada akhir-akhir malam, sekalian do’a dan permohonan
diterima ketika itu. Oleh karena itu hendaklah mendo’a banyak-banyak setiap
malam. Inilah maksudnya hadits ini.
C.
Bepergian
Ziarah Kemakam Nabi Di Madinah Haram
Ibnu Taimiyah
mengharamkan orang pergi ziarah ke makam Nabi Muhammad Saw. Di Madinah dan perjalanan itu kalau dilakukan,
dianggap ma’syiat, menurut Ibnu Taimiyah. Fatwa Ibnu Taimiyah ini ditentang
dalam praktek oleh umat Islam, khusus oleh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, karena
sudah 14 abad umat islam berbondong-bondong datang menziarahi makam Nabi
Muhammad Saw. Terutama sesudah mengerjakan haji di Makkah.
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah
beri’itiqad bahwa ziarah ke makam Nabi di Madinah adalah sebesar-besar ibadat
yang menghampirkan diri kita kepada Allah swt. Karena itu, tidaklah salah kalau
banyak dari ulama-ulama Islam sejak abad ke IX H, itu mengarang buku menolak
faham Ibnu Taimiyah dan mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah itu “Dhallun
mudhillun”(sesat lagi menyesatkan)
Ziarah ke makam Nabi pada waktu sekarang lebih mempertebal iman
kita, lebih mempertinggi perjuangan kita dalam mengikis syirik, sehingga kita
yang ziarah mendapat semangat baru untuk menghapuskan syirik sesudah ziarah
itu. Begitu juga ziarah ke makam ibu bapak, makam ulama-ulama. Makam
orang-orang mati syahid, makam pahlawan-pahlawan Islam semuanya adalah sunnat,
berfaedah untuk dikerjakan. Banyak
dalil-dalil yang dikemukakan untuk membuktikan bahwa berziarah ke makam Nabi
itu adalah sunnat.
Salah satunya dari Sitti ‘Aisyah Ummul Mu’minin, beliau berkata :
Yang artinya : “Apa ucapan saya, Hai Rasulullah, kalau saya
menziarahi kubur ? Nabi menjawab: “Katakanlah, salam atasmu hai orang-orang
mu’min penduduk kampong ini” (hadits
Riwayat Imam Muslim, Shahih Muslim 1 halaman 388).
Dengan hadits ini diambil dua kesimpulan, yaitu :
1.
Nabi Muhammad Saw. Tidak melarang ziarah kubur.
2.
Nabi Muhammad Saw. Tidak melarang wanita ziarah kubur, tetapi
menganjurkan dan mengajarkan do’a-do’a yang akan dibaca.
Kalau menziarahi sembarang kubur saja sudah sunnat, apalagi
menziarahi kubur Nabi Muhammad Saw, yang tentu lebih baik, lebih afdhal dan
lebih besar pahalanya.
D.
Mendo’a Dengan
Bertawassul
Suatu fatwa yang menghebohkan dunia Islam dari Ibnu Taimiyah ialah
menghukum kafir atau syirik sekalian orang Islam yang mendo’a dengan
bertawassul, pada hal mendo’a dengan bertawassul itu sudah dikerjakan oleh
dunia Islam pada abad-abad permulaan Islam, zaman Nabi, zaman sahabat dan zaman
tabi’in.
Tawassul artinya mengerjakan sesuatu amal yang dapat mendekatkan
diri kepada Tuhan. Didalam al Qur’an ada tersebut perkataan “wasilah” dalam dua
tempat yaitu :
1.
Pada surat al Maidah ayat ke 35 yang berbunyi :
“Hai
orang-orang yang beriman ! patuhlah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan
kepadanya dan berjuanglah di jalan Allah, supaya kamu jadi beruntung”(Al Maidah
: 35).
Di dalam ayat
ini ada 3 hukum yang dikeluarkan, yaitu :
a.
Kita wajib patuh (tha’at) kepada Tuhan.
b. Kita disuruh
mencari jalan yang mendekatkan diri kita kepada Tuhan.
c. Kita disuruh
berjuang (perang) di jalan Allah.
Kalau yang tiga ini dikerjakan maka kita ada jaminan untuk mendapat
kemenangan di dunia dan di akhirat.
Dalam salah satu dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah yang
menjelaskan bahwa orang yang mendo’a dengan tawassul sama dengan orang-orang
kafir karena membawa nama Nabi, nama wali untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Karena itu orang yang mendo’a dengan bertawassul adalah musyrik, kata Ibnu
Taimiyah.
Pendeknya Ibnu Taimiyah berfatwa bahwa orang-orang Islam yang
mendo’a dengan bertawassul, baik kepada orang yang hidup atau kepada orang yang
telah mati adalah kafir, sama dengan orang kafir yang menyembah berhala dengan
I’itiqadnya agar menghampirkan diri kepada Allah, sebagai tersebut dalam surat
az Zumar : 3 ini.
Kaum Ahlussunnah wal jama’ah menolak fatwa Ibnu Taimiyah dan
mengatakan bahwa mendo’a dengan bertawassul tidak sama dengan orang-orang kafir
yang menyembah berhala itu. Orang-orang Islam yang mendo’a dengan bertawassul
tidak menyembah kepada Nabi-nabi atau wali-wali atau ulama-ulama pada ketika ia
mendo’a dengan tawassul tetapi semata-mata membawa nama-nama itu ke hadapan
Tuhan, karena Tuhan kasih kepadanya.
E.
Lekas-Lekas
Menghukum Kafir
Fatwa Ibnu Taimiyah menghukum kafir kepada orang-orang Islam yang
tidak mau menurut fahamnya. Orang yang menziarahi makam Nabi Muhammad Saw, ke
Madinah, kafir. Kalau kita ikuti fatwa dan faham Ibnu Taimiyah ini, maka ziarah
kemakam Pahlawan Nasional yang biasa dikerjakan di negeri kita tentu juga
“kafir”. Sikap Ibnu Taimiyah ini sama dengan sikap kaum Khawarij, yang
mengafirkan Saidina Mu’awiyah dan mengafirkan Saidina Ali dan mengafirkan
Saidina Utsman pada akhir pemerintahannya dan mengafirkan Sitti ‘Aisyah,
Thalhah dan Zuber yang berani melawan Saidina ‘Ali dalam peperangan Jamal.
Manusia menurut faham kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, apa bila telah
mengucap syahadat, telah mengaku dalam hatinya bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad itu Rasulnya maka orang itu sudah mu’min dan ia tidak menjadi
kafir dengan berbuat dosa, walaupun dosa besar, selain syirik. Faham yang
mengatakan bahwa si pembuat dosa besar adalah kafir, itu adalah faham kaum
Khawarij,
F.
Tariqat-Tariqat
Sufiyah Haram
Ibnu Taimiyah
memfatwakan bahwa sekalian Tarikat-tarikat sufiyah yang banyak diamalakan oleh
Umat Islam pada zamannya itu adalah haram. Tetapi sebagian besar ulama-ulama
Ahlussunnah memfatwakan bahwa amal thariqat-thariqat itu adalah baik dan bahkan
ada yang mengatakan sangat baik, karena amal-amal dalam thariqat itu dikerjakan
oleh Nabi dan sahabat-sahabat beliau, juga dituntut oleh Allah dalam al Qur’an
dan banyak termaktub dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
Sudah jelas
dalam hadits bahwa berkumpul-kumpul duduk dzikir adalah suatu amal ibadat yang
sangat terpuji dan sangan dituntut oleh syari’at Islam. Orang-orang Tashauf
Thariqat membiasakan diri untuk duduk berkumpul-kumpul membaca dzikir memenuhi
seruan Tuhan dan seruan Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi Ibnu Taimiyah
mengharamkan semuanya itu. Inilah fatwa Ibnu Taimiyah yang sangat tersesat !
G.
Fatwa-Fatwa
Fikih Dari Ibnu Taimiyah Yang Keliru
Ibnu taimiyah
memfatwakan bahwa thalak 3 sekali jatuh hanya jatuh satu dan thalak dengan
sumpah tidak jatuh. Fatwa semacam ini sama dengan fatwa kaum Syi’ah Imamiyah di
Iran, bahwa thalak tiga sekali gus hanya jatuh satu.
Fatwa semacam
ini ditolak oleh ke-empat mazhab, yaitu oleh Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali, ke-empat Mazhab ini mengatakan bahwa thalak 3 sekaligus jatuh tiga.
Fatwa-fatwa
yang melanggar ijma’ itu adalah :
1.
Bersumpah dengan thalak tidak membikin jatuh thalak, tetapi hanya
suami diwajibkan membayar kafarat sumpah
2.
Thalak ketika istri membawa haidh tidak jatuh
3.
Thalak diwaktu suci yang disetubuhi tidak jatuh
Jadi Ibnu Taimiyah telah melakukan penyelewengan dari 3 jurusan, yaitu
dari pihak I’itiqad, dari pihak tasauf dan dari pihak hukum fikih.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa faham yang
mengatakan Tuhan duduk bersela di atas ‘Arsy serupa duduknya Ibnu Taimiyah itu
atau serupa duduknya siapa jugapun, merupakan faham yang sesat lagi
menyesatkan, karena bertentangan dengan sifat Tuhan Makhalafatuhu ta’la lil
hawaditsi (berlainan dari sekalian makhluk). Ibnu Taimiyah juga mengharamkan
orang pergi ziarah ke makam Nabi Muhammad Saw, di Madinah dan perjalanan itu
kalau dilakukan, dianggap ma’syiat, jika fatwa ini di ikuti maka kota Madinah,
kota Rasulullah akan menjadi sepi. Jadi dapat dikatakan bahwa fatwa Ibnu
Taimiyah bertolak belakang dari ajaran islam yang sebenarnya, melarang umat
muslim mengerjakan sesuatu yang telah dilakukan oleh rasulullah Saw dan hal
yang paling membingungkan dari fatwa Ibnu Taimiyah ini adalah menyamakan
dirinya dengan Allah swt yang sudah bertentangan dengan ayat al Qur’an dalam
surat As Syura: 11 “Tiada yang menyerupai DIA suatu Juga”. Jadi sudah
jelas dalam ayat ini bahwa tidak ada yang bisa menyamai atau menyerupai Allah
swt. Intinya kaum Ibnu Taimiyah adalah faham yang sesat lagi menyesatkan.
SARAN
Dalam makalah ini masih banyak kekurangan maupun kekeliruan, diharapkan
saran dan kritik yang membangun sehingga tercapainya makalah yang dibuat ini
menjadi lebih baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas
Siradjuddin, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Pustaka Tarbiyah,
Jakarta: 1969
Tidak ada komentar:
Posting Komentar